Ramadhan tiga tahun yang lalu, kami mendapat order untuk membuat seragam anggota keamanan dalam waktu yang relatif singkat dengan tingkat kesulitan cukup tinggi. Saya bahkan turun tangan, 48 jam full, tanpa tidur, nggak cuman nge-QC tapi ikut memasang kancing hingga packing. Ini semua atas nama “profesionalisme kerja” dan yang paling ngenes adalah, Raja kudu ikutan jadi korban. Emaknya lebih sibuk ngurus kerjaan daripada ngasuh anak.
Didunia custom order ini, biasanya pemesan paling banyak memberi DP 50% (waktu itu kita masih sangat tolelir dengan besaran DP), sedangkan biaya produksi sampai tuntas packing biasanya ada diangka 80-85% dari besaran order. Sedangkan pelunasan dibayarkan setelah barang paripurna. Berarti produsen punya tanggungan untuk menutupi kekurangan biaya produksi sekitar 30-35%/order. Seringnya untuk menutupi kekurangan ongkos produksi itu kita menggali lubang sana-sini. Seperti juga di kasus ini, untuk menutupi kekurangan biaya produksi kita meminjam ke saudara dengan menjanjikan pengembalian setelah order selesai (yang artinya setelah kita menerima pelunasan).
Begitu barang selesai, pemesan datang beserta dengan gerombolan dan memaksa untuk mengambil barang. Gerombolan orang itu rada bikin keder Kakanda, yang akhirnya terpaksa melepas barang hanya dengan dijanjikan pelunasan setelah barang tiba di kota pemesan (yang berada nun jauh diseberang pulau).
Dan hingga saat ini, janji itu tinggalah janji. Mereka membuat “profesionalisme kerja” kita tampak seperti sebuah ketololan. Jerih payah dan keringat kita bukan hanya tidak dihargai tapi juga ‘diludahi’. Pengorbanan Raja sia-sia dan terutama mereka menyisakan hutang bekas biaya produksi yang lumayan cukup membuat kita ketar-ketir untuk menutupinya.
Pengalaman itu memberi efek sakit hati yang cukup dalam. Bahkan hingga bertahun kemudian saya masih belum bisa move on dari musibah itu. Saya membawa “kesakithatian” itu selama tiga tahun penuh.
Hingga kemudian kejadian tadi pagi seperti memiliki korelasi. Menyadarkan saya akan hal yang selama ini terlewat dan terlupa;
Pagi tadi niatnya saya ingin beli pulsa, saat tiba di konter tetiba saya sadar uang saya hilang sebagian, nggak banyak, cuman 50 ribu. Sayangnya, uang yang nggak seberapa itu adalah sisa-sisa terakhir pundi yang mengisi dompet saya sehabis biaya berlebaran kemarin. Sedih, pastinya, marah, ya iyalah, kesel juga terutama dengan kecerobohan saya sendiri. Dua kali saya sisir jalan yang saya lewati, apalah daya, bukan rejeki saya ternyata.
Saya sibuk meruntuk diri saya sendiri ketika suami ganteng menyodorkan uang 50rb untuk menggantikan uang saya yang hilang. Saya menerimanya, mengucap terimakasih tapi lucunya saya masih meratapi uang saya yang hilang “seandainya uang tadi tidak hilang, saya bisa memanfaatkan uang yang ini untuk hal lain.”
Dan firman Allah tetiba berputar dikepala, terngiang ditelinga. Saya kita itu bukan kebetulan karena saya nggak begitu percaya sama namanya kebetulan.
Lainsyakartum laaziidannakum wa la inkafartum inna azaabii lasyadiid (QS. Ibrahim;7)
“Jikalau kalian bersyukur maka sungguh benar-benar sungguh akan kami tambahkan. Namun jikalau kalian melalaikan maka sesungguhnya azabKu amat pedih”
Uang saya yang hilang terganti, tapi saya masih juga menyesali yang tak mungkin kembali. Suami saya sudah menggantikannya. Saya tidak rugi apapun sekarang tapi kenapa saya masih menangisi yang hilang?
Ini seperti juga tentang orderan 3 tahun lalu yang masih juga saya ratapi. Saya entah terlupa atau buta pada fakta bahwa Allah telah menggantinya. Menggantikan kerugian kami dengan caranya yang sepertinya terlewat dan tidak saya catat. Kenapa saya harus ngotot mengharapkan pertanggung jawaban dari manusia yang sudah tidak bisa lagi kami tuntut kewajibannya (secara, rimbanya aja udah nggak jelas juntrung ada dimana) padahal jikalau saya meluangkan waktu untuk seksama Allah telah menggantikan kerugian saya dengan memberikan kami sumber rejeki lain (pekerjaan) hingga walau tertatih hutang itu terlunasi. Sayangnya, transaksi kita dengan Allah tidak ada catatan kongkrit kontra bonnya, karenanya butuh waktu lama sebelum kita (saya dink!) benar-benar menyadari bagaimana Allah telah bekerja.
Tidak ada alasan untuk tidak move on dari pikiran atau perasaan “dirugikan” ataupun “kehilangan” ketika kita sudah berusaha hingga titik maksimal kemampuan kita. Karena berusaha adalah kewajiban manusia, makanya saya bolak-balik menyusuri jalan celingukan mencari uang yang terlepas. Makanya juga kami dengan keterbatasan sudah melakukan yang kami bisa untuk meminta pelunasan. Dan jika setelah usaha yang maksimal itu, apa yang saya pikir hak saya itu tidak ada ditangan bukankah seharusnya saya merelakannya? Let it go… let it go turn my back and slam the door.
Kalimat terakhir dari firman diataslah yang lebih dulu menampar saya dan memberikan alasan utama untuk move on;
Inkafartum inna azaabii lasyadiid.
Dengan tidak move on dari perasaan “dirugikan” dan “kehilangan” saya sebenarnya (tanpa saya sadari) telah mengingkari atau bahasa lainnya yang lebih jebred, mengkufurkan rejeki atau keberkahan yang telah Allah berikan pada saya.
Saya tidak tahu azab apa yang akan Allah timpakan pada saya (saya harus segera rekonsiliasi dengan Allah; memelas, mengiba, mengemis ampunannya karena saya terlalu takut akan azabnya) di dunia ini dan akhirat nanti karena kelalaian saya tapi saya mencatat bahwa saya memang sudah dihukum.
Perasaan sedih, terluka dan duka sebagai korban dari “nasib” yang terus menerus menggelantung disanubari ini adalah hukuman yang sudah saya jalani karena pengingkaran saya. Jiwa saya yang seharusnya merdeka terkungkung oleh kekerdilan saya dalam memaknai rejeki dari Sang Pemilik Semesta.
Alhamdulillah, hukuman saya sampai disana. Tidak seperti para koruptor, yang dihukum oleh ketamakan dan ketidakpernahpuasan. Karena sesungguhnya manusia tamak walau dariluar tampak merugikan orang lain, didalam sebenarnya dia lebih menyengsarakan jiwanya sendiri. Seperti rasa lapar yang tak pernah terkenyangkan walau makanan terus dijejalkan keperut.
Allah juga, dengan segala pujian untukNya, tidak menghukum saya dengan dengki dan iri. Karena sifat seperti ini adalah sifat yang menghalangi manusia untuk bisa berbahagia dikala orang lain bahagia. Yang ada, dua sifat ini membuat manusia bersuka atas duka orang lain dan berduka atas suka orang lain.
Jika ada sedikit rasa ini ada pada anda yang baca, mungkin, hanya mungkin, mungkin anda seperti saya, sempat melupakan dan membutakan diri pada rejeki yang Allah beri.
Alasan kedua untuk move on, adalah janji, bukan, bukan sekedar janji tapi sumpah Allah diawal kalimat ini:
“Jikalau kalian bersyukur maka sungguh benar-benar akan kami tambahkan”
Syukurin! Apapun itu disyukuri. Mau terlihatnya bagus, jelek, senang, susah, apapun yang terjadi dalam siklus hidup kita syukurin aja. Terutama dalam hal ini menyangkut rejeki. Tugas manusia itu cuman usaha, usaha, usaha, udah titik! Soal hasil itu hak Tuhan. Kalau udah usaha pol tapi hasilnya malah bikin nelangsa ya sudah, let it go lalu disyukurin. Selalulah percaya nggak ada yang sia-sia. Usaha kita, keringat kita, peluh kita, nggak ada yang luput dari pantauanNya. Kalem aja, seatback, keep calm and watch how He will repay your effort. Dia Maha Kuasa, Maha Kaya dan Maha Bijak yakini saja hal itu walaupun yang tampak dimata rejeki lagi digondol nasib buruk.
Kenapa harus disyukurin? Karena Allah sudah bersumpah bakal menambahkan rejeki kita. Udahmah pake awalan “la” yang artinya sungguh, Allah mentasdidkan “aziidannakum” yang artinya bener-bener ditambahkan. Saking Allah ingin kita jadi manusia kaya (kaya disini artikan sendiri, ingat tadi saya ngingetin soal tamak dan kepuasan), Dia menekankan hingga ketitik sumpah untuk menambahkan rejeki kita kalau kita bisa bersyukur. Yang berbicara disini adalah Allah, Sang Maha Kaya pemilik semesta. Kebangetan kalau kita (saya dink, orang ini pan review kisah saya) meragukan janjinya.
So from now on, saya moved on. Saya tidak akan meratapi, menyesali dan menangisi musibah, kehilangan atau kerugian saya lagi, Insya Allah. Semoga saya bisa istiqomah, memaknai yang terjadi dengan penuh rasa syukur. Bukan demi siapa-siapa tapi demi hati dan jiwa saya agar selalu merdeka.
Fabiayyi aalaa-i robbikumaa tukadzibaan (QS.Ar-Rahman;13)
“Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
The End.
PS: Mudah-mudahan curhatan panjang ini bisa jadi ibroh. Thank you soooooooo much for read